Enggak, Pak. Saya mau kuliah dulu.
“Jus, umur kamu berapa?”
“16, pak. Kenapa?”
“Kamu serius ga main bola?”
“Serius lah, pak”
“Jadi gini, saya ada kenalan di Pelita Jaya U-17. Kalau kamu minat,
nanti bapak daftarin seleksinya bulan Agustus nanti”
“Bulan Agustus saya kan ada Ospek Kuliahan, pak”
“Nah, nanti kalau kamu lulus masuk Pelita U-17, kamu harus
milih, mau nerusin kuliah, atau jadi pemain bola saja. Engga bisa dua-duanya,
soalnya biasanya usia segitu itu pemain bola harus bener-bener diasah, engga
bisa setengah-setengah. Soalnya bapak lihat kamu punya bakat jadi kiper, siapa
tahu kan nanti kamu bisa mengharumkan nama Subang”
“Waduh, gimana ya pak….”
“Ya sudah, kamu pikir-pikir dulu. Kamu diskusikan dulu sama
orang tua kamu. Bapak enggak memaksa. Lagipula sayang kalau bakat kamu ini
enggak diasah. Postur kamu juga proporsional untuk jadi kiper bagus…”
Sekitar
satu setengah tahun yang lalu, pembicaraan bapak pelatih yang biasa saya
panggil ‘Abah’ itu masih teringat dipikiran saya. Mungkin dia benar kalau saya
mempunyai bakat jadi kiper bagus, tapi mungkin juga dia salah karena memilih
orang yang salah. Saat ini saya menikmati kehidupan saya sebagai mahasiswa. Ya,
memang dengan nilai yang tidak terlalu membanggakan, hanya beberapa angka koma
setelah angka tiga, setidaknya sampai semester dua perkuliahan saya.
Ceritanya
bermula dari hobi saya bermian sepakbola, bersama teman-teman sekomplek
perumahan di tempat tinggal saya, dengan seorang pelatih yang dianggap legenda
sepakbola di daerah kami, kami pun bermain sepakbola rutin dua kali setiap
minggunya. Saya biasa bermain di posisi penyerang tunggal, dengan postur saya
yang tinggi, mungkin menjadi pertimbangan khusus dari pelatih kami untuk
menjadikan saya seorang ijing tombak di formasi 4-3-2-1. Mesikpun begitu,
permainan dengan saya sebagai striker tunggal kadang tidak berjalan dengan
baik. Pelatih pernah berkata, “Kamu ga cocok main di Indonesia. Pemain di
Indonesia itu kecil-kecil, kalau lari pasti selalu kalah langkah dari kamu,
orang lain dua langkah, kamu satu langkah. Jadi ibaratkan kalau ada umpan
lambung dari sisi lapangan itu, kamu harus punya insting untuk bisa dapetin
bola, supaya kamu selangkah sama teman-teman kamu.” Cukup menyakitkan memang
motivasi yang diberikan, itulah kehidupan. Lagipula memang teman-temanku yang
lain tingginya bahkan tidak mencapai 170cm, sedangkan saya 176 waktu itu.
Raihan gol yang mengecewakan, 3 gol dalam 4 bulan.
Hingga pada
waktu itu, kiper utama kami cedera, dan tidak ada kiper cadangan, lagipula
pemain cadangan yang tersisa waktu itu hanya saya. Otomatis pelatih pun
memasukan saya sebagai kiper. Sungguh mengherankan, seorang yang tidak
berpengalaman, bahkan untuk tingkat antar komplek sekalipun harus bermain
disaat pertandingan sedang berjalan sengit. Memang pada saat pemanasan saya
sering bermain sebagai kipper, dan itu hanya sebatas bercanda. Mungkin pelatih
pernah melihatku. Sampai pada akhir pertandingan, saya tidak kemasukan bola
satu-pun, dan tim kami menang. Ada satu momen dimana saya berhasil mementahkan
tendangan penalti lawan. Entah kenapa saya memang suka tendangan penalti, bukan
sebagai penendang, tapi sebagai kiper. Dan dari situ mungkin pelatih menaruh
hatinya pada saya.
Sampai
beberapa pertandingan selanjutnya, saya dipercaya krmbali menjadi kiper, bahkan
kiper utama yang sudah sembuh pun hanya menjadi pemain cadangan. Dan memang,
permainan saya sebagai penjaga gawa semakin berkembang, selain karena sering
dilatih langsung oleh pelatih kami, juga ada satu hal yang saya suka ketika
menjadi kiper, yaitu ketika pemain lawan menendang bola dengan keras dan saya
berhasil menepis tendangannya. Lalu saya berdiri dengan wajah ‘Cool’ dan
berteriak kepada pemain bertahan, “Mana bek-nya??” Wow!! Sungguh mengesankan,
apalagi bila ditonton oleh banyak orang, terutama teriakan wanita-wanita.
Hehehehe.
*****
Sampai pada saatnya saya bertemu
dengan si Abah untuk menjawab
pertanyaannya tempo hari, dengan lantang saya jawab “Enggak, pak. Saya mau kuliah
dulu”. Dia pun tidak banyak bertanya, hanya tersenyum. Jawaban ini sudah
kupikirkan matang-matang, bahkan untuk mendiskusikan dengan orang tua pun
tidak, karena meskipun ayah saya adalah penggemar Persib bandung, dia sudah
tentu tidak akan mengizinkan, karena
pendidikan itu yang paling utama, setidaknya itulah yang mereka tanamkan kepada
saya.
Sejak saat itu, saya tidak
dimainkan sebagai kiper lagi, bahkan teman-teman yang lainpun protes ke pada
pelatih karena mereka lebih percaya kalau saya yang menjadi penjaga gawang. Tapi ya apa boleh buat, pelatih sudah
membuat keputusan. Pelatih kami memang adil dalam keputusannya. Misalnya saja,
jika ada seorang pemain yang hebat dalam skil individunya, tetapi dia jarang
latihan, pelatih akan lebih memilih memainkan pemain yang terkesan biasa-biasa
saja akan tetapi rajin ikut latihan. Karena itu lah kami menghormatinya. Dan
sampai saya membuat keputusan, di pun juga menghargai keputusan yang telah saya
buat.
Tidak terkesan menyesali
keputusan itu memang, tapi saya akui saya memang merindukan saat dimana bermain
sepakbola dengan temen-teman saya, dan dilatih oleh si abah. Sekarang teman-teman
saya mungkin sudah menyebar demi meraih apa yang mereka cita-citakan. Ada yang
kuliah, bekerja, bahkan ada yang menganggur sekalipun. Sampai saat ini saja,
jarang sekali saya bertemu dengan mereka semua. Terlebih salah satu kakak yang
merupakan mentor saya sewaktu masih bermain sebagai penyerang, sudah meninggal
beberapa bulan yang lalu.
Ingin sekali rasanya menjadi
kiper professional yang bermain di TV. Mungkin orang tua saya akan bangga, atau
mungkin tidak. Ya, mereka akan bangga ketika melihat saya meraih cita-cita saya
kelak, menjadi guru. Mungkin guru sepakbola.
Comments
Post a Comment